Stikesbethesda.ac.id– Ada sisi menarik yang patut disimak dalam pembukaan Pengenalan Program Studi (PPS) kepada mahasiswa baru yang dilaksanakan STIKES Bethesda Yakkum, Rabu 31 Agustus di Aula STIKES Bethesda. Pada acara tersebut STIKES Bethesda menghadirkan tiga seniman kawakan Yogyakarta, salah satunya Susilo Nugroho atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Den Baguse Ngarso. Kehadirannya ditemani dua seniman lain yakni Rini Widyastuti dan Sudayat atau biasa disapa John Dayat.
Kehadiran tiga seniman ini tak lain dan tak bukan untuk memerankan diri sebagai penyambung lidah mengenalkan kearifan lokal kepada mahasiswa baru. Mereka tampil menyesuaikan diri dengan mengenakan pakaian khas budaya Yogyakarta. Keberadaan Den Baguse Ngarso dan dua rekannya di depan ratusan mahasiswa baru dan wali murid, mampu menghidupkan suasana. Ketiganya tampil inspiratif dalam menampilkan guyon maton yang kerap mengundang tawa semua insan yang hadir.
Tampil kocak lewat ucapan maupun ekspresi mimik wajah, tak sedikit pun mengurangi esensi makna kehadiran mereka. Sebagaimana misi yang diemban, guyon maton yang dipertontonkan syarat dengan petuah-petuah budaya masyarakat Yogyakarta yang mengandung kearifan.
Dalam salah satu pesan yang disisipkan lewat dagelannya, Den Baguse Ngarso mengingatkan agar orang dari luar daerah jangan pernah takut datang ke Yogyakarta dan belajar budaya masyarakat Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta selalu bersikap welcome terhadap semua pendatang tanpa memandang asal atau budaya seseorang. Masyarakat Yogyakarta juga tidak pernah memaksa pendatang untuk meninggalkan budayanya.
“Orang Yogyakarta selalu siap menyesuaikan diri dengan pendatang yang berperilaku baik, entah dari mana pun asalnya. Masyarakat Yogyakarta tidak akan pernah memaksa orang lain untuk meninggalkan kebudayaan asalnya.” ucap Den Baguse Ngarso di hadapan ratuan peserta PPS.
Sikap menghargai budaya daerah lain, diceritakan Den Baguse Ngarso juga telah diperlihatkan sejak dahulu kala oleh Keraton Yogyakarta. Sikap ini terlukiskan ketika pawai Grebeg Muludan sebagai puncak perayaan Sekaten. Dalam pawai tersebut ada satu pasukan yang disebut dengan Panji Daeng. Pasukan ini tampil dengan pakaian seragam yang berbeda dan cara baris yang berbeda pula. Mereka diberi kebebasan berkespresi saat pawai.
“Daeng itu sebenarnya berasal dari Makasar, dan masa perjuangan dulu banyak berjasa kepada Yogyakarta. Kenapa mereka diperbolehkan tampil beda, sebenarnya itu memberikan makna bahwa Sultan ingin menghargai budaya dari daerah lain,” terang Den Baguse Ngarso.
Lelucon yang disampaikan banyak dikaitkan dengan simbol simbol budaya Jawa yang melambangkan kearifan lokal. Misalnya, jenis corak batik pada kain jarik yang sesungguhnya masing-masing corak menggambarkan tentang kearifan perilaku masyarakat Yogyakarta. Ataupun budaya membungkuk saat bersalaman dan saat berjalan di depan orang. Simbol ini merupakan salah satu wujud bahwa masyarakat Yogyakarta selalu berusaha menghargai orang lain.
“Melalui simbol simbol yang ada kita bisa belajar banyak tentang budaya masyarakat Yogyakarta. Dan simbol itu mudah diingat, ini merupakan cara paling mudah untuk menyampaikan pesan kepada orang lain mengenai kearifan suatu budaya,” terang Den Baguse Ngarso kepada Stikesbethesda.ac.id usai tampil menghibur ratusan mahasiswa.
Ia juga mengatakan bahwa mengenal budaya masyarakat Yogyakarta sangat diperlukan bagi mahasiswa baru terutama bagi mereka yang berasal dari luar daerah. Permasalahan yang akan mereka hadapi bukan hanya terfokus pada soal bagaimana menerima transfer knowledge. Tetapi sudah barang tentu mereka akan terlibat interaksi dengan budaya masyarakat Yogyakarta. Dari pergaulan maupun komunikasi, mereka harus bisa menarik nilai nilai plus dari budaya Jawa khususnya Yogyakarta.
“Dan ini sesungguhnya starting poin buat mereka, karena banyak kearifan lokal yang bisa didapatkan dan bermanfaat bagi mereka ke depan. Nah di STIKES Bethesda ini, mereka tinggal nggathuke—mengkaitkan—mana konsep konsep budaya Jawa yang terserap di STIKES Bethesda,” jelas Den Baguse Ngarso. (bas)